Refleksi Wabah: Ada Apa dengan Keramaian?

Refleksi Wabah: Ada Apa dengan Keramaian?

BEBERAPA bulan akhir, kita banyak dikejuti dengan beragam kejadian yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Jumlah korban bahkan sentuh angka beberapa ratus.

Dalam tahun ini saja ada tiga cerita ironis. Diawali dari kejadian 1 Oktober yang tewaskan 135 orang di Stadiun Kanjuruan Malang, kejadian kematiannya 151 orang dalam parade Hallowen di Itaewon Korea Selatan, dan paling akhir bencana robohnya jembatan menggantung yang tewaskan 134 orang di India. Salah satunya pemicu dari 3 bencana di atas ialah kelebihan kemampuan.

Tetapi pertanyaan khusus dalam tulisan ini ialah ada apakah dengan keramaian sampai menyebabkan jatuhnya korban jiwa? Wabah Covid-19 Terhitung 2 Maret 2020, Covid-19 masuk Indonesia saat pasien 01 dan pasien 02 berkontak dengan WNA Jepang yang rupanya positif Covid-19. Mulai sejak itu perlahan-lahan pemerintahan mengaplikasikan peraturan batasi kegiatan warga.

Beberapa warga seringkali beraktivitas setiap hari cuma di rumah. Peristiwa ini berjalan sepanjang 2 tahun dan berpengaruh pada beragam faktor kehidupan warga. Semua wujud aktivitas memiliki sifat keramaian dihentikan sementara supaya penyeberan Covid-19 tidak makin meluas.

Warga kita dengan kultur extrovert “dipaksakan” tidak untuk keluar dari rumah. Covid-19 sebetulnya mengakibatkan culture shock di mana satu kondisi warga tidak sanggup atau tidak siap terima rutinitas atau budaya baru.

Covid-19 mengakibatkan aktivitas jadi new normal. Maknanya kita beraktivitas sosial dan ekonomi tidak seperti umumnya sebelum covid-19 menerpa. Pasti kondisi ini membuat beberapa warga terasa terusik, tapi harus harus patuh ke peraturan pemerintahan karena imbas covid-19 riil dan makan korban cukup banyak.

Di tahun 2020 saja saat Covid-19 jadi musibah Nasional sudah terdaftar penganguran 2,56 juta yang terimbas (kemnaker.go.id). Secara ekonomi warga ketekan karena rupiah menyusut karena wabah. Biaya untuk keperluan setiap hari diwujudkan secara berhati-hati supaya tersedianya selalu terlindungi di keadaan susah.

Dan di satu segi keperluan primer masih tetap stabil dengan harga, bahkan juga beberapa barang memiliki nuansa kesehatan naik harga akibatnya karena keperluan pasar bertambah dan langkanya tersedianya barang. Bukan hanya penekanan ekonomi, warga kita waktu itu dirundung ketakutan.

Fobia ini tidak lain karena bukti kematian yang terus-terusan dikabarkan dengan beragam jenis kengerian wabah. Waktu itu, kebebasan kita sebagai masyarakat negara tidak sesuai dengan jatuhnya korban covid-19 sehari-harinya. Mayoritas dari kita pada akhirnya gantungkan hidup pada doa dan keinginan supaya wabah selekasnya berakhir.

Tapi cukup banyak elemen warga yang tidak yakin dan acuh dengan keadaan wabah covid-19. Bukti covid-19 di atas memberitahu secara implisit jika kondisi psikis warga waktu itu betul-betul dilanda kegelisaahan. Kebebasan yang didenggungkan berasa tak berarti apapun bila dibanding dengan wewangian ketakutan.

Lawan yang ditemui nyata dan menebar secara cepat tanpa tentukan umur tua dan muda atau kaya dan miskin. Kita seperti dipenjara tanpa tahu kekeliruan dan vonis hakim. Dimasukkan ke rumah masing-masing dan batasi hubungan sosial, walau sebenarnya budaya kita menampik kehidupan introvert semacam itu.

Kita cuma dibawa berbicara memakai fasilitas electronic tanpa bertemu muka. New normal ini menggangu rutinitas warga, bukan hanya di Indonesia, tapi dunia. Belum juga penekanan ekonomi yang tetap banyak yang datang tiap hari tanpa opsi untuk melakukan perbuatan suatu hal.sebuah hal.

Beberapa kondisi ini jadi parah psikis warga yang sepanjang beberapa dasawarsa disuplai kebebasan. Saat pemerintahan longgarkan peraturan limitasi sosial, kita menyaksikan banyak moment-event mulai dilaksanakan. Bukan hanya swasta, tapi pemerintahan ikut juga peran untuk hidupkan ekonomi Nasional dengan beragam aktivitas yang sejauh ini sudah terlambat.

Warga dengan keceriaan terima keluasan limitasi sosial. Mereka jemu terus dikungkung di dalam ruang sepanjang 1×24 jam. Disamping itu, saat warga tidak beraktivitas apa saja, kemajuan ekonomi akan statis. Pola dan uforia terlalu berlebih Bencana besar yang terjadi beberapa waktu ini memberikan keyakinan jika keramaian dapat benar-benar beresiko.

Minimnya SOP yang bagus ditambahkan lagi “kegilaan” warga yang rayakan kebebasan untuk bergabung dan nikmati selingan, membuat keramaian berasa mengerikan. Korban jiwa bahkan sentuh angka beberapa ratus. Ini bukanlah peristiwa biasa dan cuma dilihat sebagai sebuah kecelakaan. Peristiwa ini terlilit pada psikologi manusia kekinian, hingga kejadian kadang di luar logika kita.

Tiap peristiwa didorong oleh sebuah pola pribadi untuk memberikan sikapnya. Entahlah pola itu berpengaruh negatif atau positif bergantung ke keadaan di mana pribadi itu ada. Dalam teori pola dikenali sebuah istilah Drive Theory atau Teori Dorongan.

Clark Leonard memiliki pendapat, jika badan organisme kekurangan zat tertentu, seperti lapar atau haus, maka muncul satu kemelut badan, kondisi ini akan menggerakkan organisme untuk hilangkan kemelut dengan makan atau minum (Adnan Saleh, 2018).

Keterangan ini mengisyaratkan jika ada komponen yang lenyap dari warga kita saat wabah, yakni hormon dopamin. Hormon dopamin dikenali hormon “hati baik”, hormon ini penting dari mekanisme penghargaan pada otak. Maknanya bila kita berasa senang atau berbahagia, hormon berikut yang memberi penghargaan ke otak jika keadaan kita sedang baik saja.

Sepanjang wabah dopamin direnggut dari warga karena peraturan pemerintahan dan intimidasi covid-19. Budaya bergabung menggerakkan dopamin hidup dari rutinitas warga beraktivitas sosial. Karena wabah semuanya lenyap dan ada kembali saat peraturan limitasi sosial dilonggarkan. Bakal ada imbas besar bila hormon dopamin diteruskan saat warga keluar belenggu sosial distance.

Kita alami syndrom keceriaan di mana kita tidak dapat kembali mengatur perlakuan kita saat berkerubungan. Implementasi dari perlakuan tidak termonitor itu ibarat peristiwa Kanjuruan, hallowen di Korsel, dan putusnya jembatan India.

Peristiwa itu adalah penumpukan dari terkumpulnya hormon dopamin tidak dapat dikendalikan. Uforia memang berjalan karena daya tariknya ajak kita untuk bergabung, tapi saat terjadi chaos tiap pribadi dengan dayanya masing-masing selamatkan diri.

Massa cari jalan keluar dan selamatkan diri. Hingga nyaris semuanya orang ada pada arah yang serupa dan pada akhirnya makan korban jiwa karena sama-sama berdesak -desakan. Jika kita saksikan tiga peristiwa keramaian di atas, korban jiwa umumnya kekurangan oksigen.

Kejadian ini memberi kita refleksi dengan dalam mengenai keramaian dan uforia. Tiap kita harus mempunyai konstruksi pemikiran selalu untuk mawas dengan keramaian. Bukan berniat untuk antisosial atau berlaku esklusif, tetapi lebih berusaha selamatkan nyawa sendiri dengan selamatkan nyawa sama-sama.

Maknanya beberapa warga harus meredam ego untuk “ikhlas” tidak bergabung walau raga naik-turun harus tergabung. Memerlukan pergerakan bersama untuk menjaga kehidupan sosial tak perlu menelan korban jiwa. Pemikiran ini perlu hidup dalam masyarakat urban supaya peristiwa semacam ini tidak terulang kembali di saat-saat mendatang.

About admin

Check Also

Perbandingan dengan Orba, Mahfud: Dahulu, Jika Calonnya Bukan Pak Harto, Diamankan!

Perbandingan dengan Orba, Mahfud: Dahulu, Jika Calonnya Bukan Pak Harto, Diamankan!

Perbandingan dengan Orba, Mahfud: Dahulu, Jika Calonnya Bukan Pak Harto, Diamankan! Menteri Koordinator Sektor Politik, …